Tanpa
berkenalan, tanpa pula berjabat tangan. Kita diatur semesta untuk langsung
bertatapan, dan buru-buru mengalihkan pandangan. Iya, sesederhana itu awal
pertemuan kita dulu. Apa kau masih ingat? Entahlah.
September
lalu, takdir menyatukan kita, lebih tepatnya aku dan kamu, digedung bercet biru
itu. Pertemuan kita yang sederhana itu berlalu begitu saja, sampai saat ini.
Ternyata aku yang terlalu berharap, sampai saat ini juga. Dahulu, aku mengira
perkenalan kita bisa menuju kearah mata angin bahagia, saling bahagia merasakan
dunia bersama, dalam artian cinta. Tapi perkiraanku salah, kita dipertemukan
hanya untuk saling bertatapan, tanpa sapaan, tanpa pula saling memperjuangkan.
Mungkin benar, diantara kita saling gengsi, sampai berharap terlalu tinggi, hingga
menyebabkan salahsatunya sakit hati.
Pertemuan
yang sangat sederhana itu mungkin tidak mempengaruhi hari-harimu. Lain halnya denganku,
dengan ketidaksengajaan tatapanmu yang bertemu dengan pandanganku, hal sekecil
itu saja sudah sangat berpengaruh besar dalam keseharianku. Kalau kau mau tau,
saat kau melirikku diam-diam, aku juga menatapmu, dalam diam. Dan yang harus
kamu tau juga, akibat tatapanmu itu, hampir setiap malam, sebelum tidur, aku
selalu menatap langit-langit kamar, membayangkan percakapan kita, tanpa kata.
Bagaimana mungkin hal tersebut tidak berpengaruh besar disetiap ujung malamku,
kalau kita saja tiga kali seminggu selalu bertemu?
Setiap
tiga kali dalam seminggu, kita selalu bertemu, selalu bertemu digedung biru
itu, tempat dimana kita telah terkontrak belajar sampai menjelang UN. Dari seringnya pertemuan itu aku selalu memperhatikan
gerak-gerikmu. Saat kau tertawa, saat kau joget-joget sambil mendengarkan lagu
dengan menggunakan heatset, saat kau terlihat antusias dengan game yang mungkin baru kau download itu,
saat kau terlihat lelah dengan pandangan kantuk dikelas Bahasa Indonesia, dan
masih banyak ‘saat-saat’ yang tidak tertampung pada tulisan ini. Iya, aku
selalu ingat semua hal tentangmu, hingga saat ini. Apa ini yang disebut cinta?
cinta lokasi lebih tepatnya? Apa iya?
Aku
masih ingat, saat itu sedang hebohnya cerita tentang pocong. Temanmu bercerita
begitu antusias, termasuk aku dan kamu, jadi pendengar yang tak kalah
antusiasnya. Aku begitu mengamati uraian opini dari temanmu yang satulagi, yang
menanggapi cerita itu. Ditengah ke-antusias-an ku mendengarkan cerita, dijeda
waktu yang tak begitu lama, kualihkan pandangan kearahmu, aku hanya ingin
melihat ekspresi yang keluar dari wajahmu itu. Ternyata, saat pandanganku
kearahmu, disitu kau sedang melirikku. Entahlah, aku tak berani menilai kalau
kau juga punya perasaan yang sama. Aku hanya manusia biasa, yang hanya bisa
menduga-duga.
Entah
berapa kali tatapan kita bertemu. Entah berapa kali aku salahtingkah saat kau
diam-diam melirikku. Entah berapa kali bayanganmu selalu masuk dalam
khayalanku. Sudah begitu sering, hingga sulit untukku hitung.
Aku
mulai bisa merasakan apa itu perasaan campur aduk. Entah ada sihir apa dimata
cekungmu itu, sehingga aku terlihat khawatir jika kau tak datang, aku
celingukan mencari sosokmu yang tak kunjung datang itu. Iya, aku
mengkhawatirkanmu. Apa namanya jika mengkhawatirkan seseorang yang selalu kita
pantau gerak-geriknya? Disebut cintakah? Ah, jangan ngomongin cinta dulu,
pertemuan kita belum terlalu jauh.
Saat
kau tak hadir, aku khawatir. Saat kau datang, aku senang. Kebahagiaan itu
sederhana, bukan?
Sungguh,
aku sudah menyukaimu dari tatapan pertama yang tidak disengaja. Aura yang
terpancar darimu beda dari yang lain, kau terlihat keren, hidungmu mancung,
tatapanmu tajam, kharismatikmu keluar, stylemu
tak usah diragukan lagi. Dan masih banyak lagi hal yang bisa kunilai, tapi aku
belum tau, Apakah kau punya perasaan yang sama denganku, yang sudah kujelaskan
panjang lebar dari tadi? Semacam cinta? atau kau hanya menganggapku teman biasa
dari sekolah yang berbeda, yang sama halnya seperti wanita lainnya? Semoga bukan
itu anggapanmu untukku, aku harap, ada ke-spesial-an yang kaunilai dariku,
entah apa itu. Tapi, aku takan memaksamu, toh sekarang, setelah kita UN, setelah masa kontrak belajar kita habis, kita tidak akan
bertemu lagi kan? Sudahlah, biarkan saja gedung biru itu yang menjadi saksi
bisu yang tau perasaanku, (mungkin) juga perasaanmu terhadapku. Yang jelas, pertemuan yang mungkin bagimu
selama ini seperti halnya anginlalu, tapi bagiku inilah yang menciptakan rindu. Aku
akan merindukan semua hal tentangmu, tentang gedung biru, tentang kita.
Teruntuk
seseorang yang sudah mengalihkan beberapa bulan terakhirku, sejak september lalu, kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar