Senin, 03 Juni 2013

Aku, Kamu, dan Gedung Biru

Tanpa berkenalan, tanpa pula berjabat tangan. Kita diatur semesta untuk langsung bertatapan, dan buru-buru mengalihkan pandangan. Iya, sesederhana itu awal pertemuan kita dulu. Apa kau masih ingat? Entahlah.

September lalu, takdir menyatukan kita, lebih tepatnya aku dan kamu, digedung bercet biru itu. Pertemuan kita yang sederhana itu berlalu begitu saja, sampai saat ini. Ternyata aku yang terlalu berharap, sampai saat ini juga. Dahulu, aku mengira perkenalan kita bisa menuju kearah mata angin bahagia, saling bahagia merasakan dunia bersama, dalam artian cinta. Tapi perkiraanku salah, kita dipertemukan hanya untuk saling bertatapan, tanpa sapaan, tanpa pula saling memperjuangkan. Mungkin benar, diantara kita saling gengsi, sampai berharap terlalu tinggi, hingga menyebabkan salahsatunya sakit hati.

Pertemuan yang sangat sederhana itu mungkin tidak mempengaruhi hari-harimu. Lain halnya denganku, dengan ketidaksengajaan tatapanmu yang bertemu dengan pandanganku, hal sekecil itu saja sudah sangat berpengaruh besar dalam keseharianku. Kalau kau mau tau, saat kau melirikku diam-diam, aku juga menatapmu, dalam diam. Dan yang harus kamu tau juga, akibat tatapanmu itu, hampir setiap malam, sebelum tidur, aku selalu menatap langit-langit kamar, membayangkan percakapan kita, tanpa kata. Bagaimana mungkin hal tersebut tidak berpengaruh besar disetiap ujung malamku, kalau kita saja tiga kali seminggu selalu bertemu?

Setiap tiga kali dalam seminggu, kita selalu bertemu, selalu bertemu digedung biru itu, tempat dimana kita telah terkontrak belajar sampai menjelang UN.  Dari seringnya pertemuan itu aku selalu memperhatikan gerak-gerikmu. Saat kau tertawa, saat kau joget-joget sambil mendengarkan lagu dengan menggunakan heatset, saat kau terlihat antusias dengan game yang mungkin baru kau download itu, saat kau terlihat lelah dengan pandangan kantuk dikelas Bahasa Indonesia, dan masih banyak ‘saat-saat’ yang tidak tertampung pada tulisan ini. Iya, aku selalu ingat semua hal tentangmu, hingga saat ini. Apa ini yang disebut cinta? cinta lokasi lebih tepatnya? Apa iya?

Aku masih ingat, saat itu sedang hebohnya cerita tentang pocong. Temanmu bercerita begitu antusias, termasuk aku dan kamu, jadi pendengar yang tak kalah antusiasnya. Aku begitu mengamati uraian opini dari temanmu yang satulagi, yang menanggapi cerita itu. Ditengah ke-antusias-an ku mendengarkan cerita, dijeda waktu yang tak begitu lama, kualihkan pandangan kearahmu, aku hanya ingin melihat ekspresi yang keluar dari wajahmu itu. Ternyata, saat pandanganku kearahmu, disitu kau sedang melirikku. Entahlah, aku tak berani menilai kalau kau juga punya perasaan yang sama. Aku hanya manusia biasa, yang hanya bisa menduga-duga.

Entah berapa kali tatapan kita bertemu. Entah berapa kali aku salahtingkah saat kau diam-diam melirikku. Entah berapa kali bayanganmu selalu masuk dalam khayalanku. Sudah begitu sering, hingga sulit untukku hitung.

Aku mulai bisa merasakan apa itu perasaan campur aduk. Entah ada sihir apa dimata cekungmu itu, sehingga aku terlihat khawatir jika kau tak datang, aku celingukan mencari sosokmu yang tak kunjung datang itu. Iya, aku mengkhawatirkanmu. Apa namanya jika mengkhawatirkan seseorang yang selalu kita pantau gerak-geriknya? Disebut cintakah? Ah, jangan ngomongin cinta dulu, pertemuan kita belum terlalu jauh.

Saat kau tak hadir, aku khawatir. Saat kau datang, aku senang. Kebahagiaan itu sederhana, bukan?

Sungguh, aku sudah menyukaimu dari tatapan pertama yang tidak disengaja. Aura yang terpancar darimu beda dari yang lain, kau terlihat keren, hidungmu mancung, tatapanmu tajam, kharismatikmu keluar, stylemu tak usah diragukan lagi. Dan masih banyak lagi hal yang bisa kunilai, tapi aku belum tau, Apakah kau punya perasaan yang sama denganku, yang sudah kujelaskan panjang lebar dari tadi? Semacam cinta? atau kau hanya menganggapku teman biasa dari sekolah yang berbeda, yang sama halnya seperti wanita lainnya? Semoga bukan itu anggapanmu untukku, aku harap, ada ke-spesial-an yang kaunilai dariku, entah apa itu. Tapi, aku takan memaksamu, toh sekarang, setelah kita UN, setelah masa kontrak belajar kita habis, kita tidak akan bertemu lagi kan? Sudahlah, biarkan saja gedung biru itu yang menjadi saksi bisu yang tau perasaanku, (mungkin) juga perasaanmu terhadapku.  Yang jelas, pertemuan yang mungkin bagimu selama ini seperti halnya anginlalu, tapi bagiku inilah yang menciptakan rindu. Aku akan merindukan semua hal tentangmu, tentang gedung biru, tentang kita.


Teruntuk seseorang yang sudah mengalihkan beberapa bulan terakhirku, sejak september lalu, kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar